BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara
lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi
akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor
resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti
kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik dan
perubahan cuaca.
Derajat
obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang memugkinkan
adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru
seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor
tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan
penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga
pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
Penyakit
paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran
masuk dan keluar udara paru-paru.
Penyakit
paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi
paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa
observasi beberapa waktu.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595).
Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk
didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari
copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "Chronic Obstructive
Lung Diseases (COLD)".
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi Fisiologi Paru-paru
Merupakan
sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung
(gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari
sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90
m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam
darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang
lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).
Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2
(dua) :
1. Paru-paru
kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus
media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
2. Paru-paru
kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen
yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment
pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen
pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah
segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan
yang bernama lobulus.
Diantara lobulus satu dengan yang
lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah
bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di
dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini
disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.
2. Letak paru-paru.
Pada rongga dada datarannya menghadap ke
tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah iiu tcrdapal lampuk
paiu-paru alau hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru
dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):
1. Pleura
viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus
paru-paru.
2. Pleura
parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga
(kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini
vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat
sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas
bergerak.
3. Pembuluh darah pada paru
Sirkulasi pulmonar berasal dari
ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri,
Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh
lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel
kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke
paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah
"kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang
relatif kekurangan oksigen.
Darah ini kembali melalui vena
pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit
mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya
menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu
membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh
dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh
dinding kapiler.
Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler
menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok
yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung
02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena
bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian
paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.
4. Kapasitas paru-paru.
Merupakan kesanggupan paru-paru dalam
menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut
:
1. Kapasitas
total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya.
Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi
paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,
2. Kapasitas
vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l
Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5
liter
3. Waktu
ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita
bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3
(2 1/2 liter)
4. Jumlah
pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-anak
kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu
keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan
bisa bertambah cepat dan sebaliknya.
Beberapa hal yang berhubungan dengan
pernapasan; bentuk menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar
biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar
bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin.
Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung,
dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut
C. KLASIFIKASI
Dalam Penyakit
yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut:
1. Bronkitis
kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis
batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya
3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun
berturut-turut.
a. Etiologi
Terdapat
3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
1) Infeksi
: stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2) Alergi
3) Rangsang
: misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
Bronchitis kronis dapat merupakan
komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
1) Penyakit
Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada
dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi.
2) Infeksi
sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat
menyerang dinding bronchus.
3) Dilatasi
Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding
bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan
bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan
lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
b. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam
serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari
bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus,
seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan
mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum
selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun
berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari
adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok
tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan
menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.
Klien dengan bronchitis kronis akan
mengalami :
1) Peningkatan
ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan
meningkatkan produksi mukus.
2) Mukus
lebih kental
3) Kerusakan
fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena
itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
4) Dinding
bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal)
dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi
mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit
saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
5) Mukus
yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama
selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada
bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
6) Klien
mengalami kekurangan oksigen jaringan: ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,
dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan
nilai PaCO2.
7) Klien
terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia
(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah
sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.
8) Selama
infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC.
Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya
menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
2. Emfisema
paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi
anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai
adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema,
melainkan hanya sebagai "overinflation".
a. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang
dapat timbul pada klien emfisema, yaitu:
1) Hilangnya
elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan
saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal
tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil
menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin
dapat menjadi membesar.
2) Hyperinflation
Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi
istirahat normal selama ekspirasi.
3) Terbentuknya
Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae
(ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.
4) Kollaps
jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha
untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan
kollapsnya jalan nafas
b. Tipe
Emfisema
Terdapat
tiga tipe dari emfisema :
1) Emfisema
Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan
bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada
bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.
2) Emfisema
Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya
termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar
emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
3) Emfisema
Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab
dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan
defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan
dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali Cor Pulmonal (CHF bagian kanan)
timbul.
c. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana
terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan
overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari
perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari
adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas
sebagian dan kehilangan elastisitas recoil.
Pada saat alveoli dan septa kollaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara
parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran
gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan
ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia,
tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya
berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok
3. Asma
a.
Definisi
Asma
adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner &
Suddarth, 2002)
b. Patofisiologis
Individu dengan asma mengalami respon
imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi
yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok,
emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan
asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi
rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor a-
dan b-adrenergik
dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor a
adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika
reseptor b-adrenergik
yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor a- dan b-adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi
reseptor –alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi
respon beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah
bahwa penyekatan b-adrenergik terjadi pada individu dengan
asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi
dan konstriksi otot polos.
4. Bronkiektasis
a.
Defenisi
Bronkiektasis
adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin disebabkan oleh
berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda
asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan
akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe.
(Bruner & Suddarth).
b.
Patofisiologi
Infeksi
merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan
menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding
bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke
jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba
yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas
melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen
paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang
diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi
mengalami kolaps (ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi
inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan
ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total.
Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi (ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
c.
Manifestasi Klinis
1. Batuk
kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak
2. Jari
tabuh, karena insufisiensi pernapasan
3. Riwayat
batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif terhadap
tuberkel basil
D. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ini belum diketahui.
Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita
antara lain:
1. Merokok
sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi
udara
3. Infeksi
peru berulang
4. Umur
5. Jenis
kelamin
6. Ras
7. Defisiensi
alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi
anti oksidan
Pengaruh dari
masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat
dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
E. PATOFISIOLOGI
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan
datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada
makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot
pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi
oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru
untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus
darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas
akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada
dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi
bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi
awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi,
pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan
udara (air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya
keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal
ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase
ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun
perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
F. TANDA DAN GEJALA
Tanda
dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1. Mempunyai
gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2. Mempunyai
gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
Tanda
dan gejalanya adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan
badan
2. Batuk
3. Sesak
napas
4. Sesak
napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi
atau wheeze
6. Ekspirasi
yang memanjang
7. Bentuk
dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
8. Penggunaan
otot bantu pernapasan
9. Suara
napas melemah
10. Kadang
ditemukan pernapasan paradoksal
11. Edema
kaki, asites dan jari tabuh
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1.
Pemeriksaan radiologist
Pada
bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Tubular
shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar
dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
2) Corak
paru yang bertambah
Pada emfisema paru
terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran
defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.
2) Keadaan
ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
3) Corakan
paru yang bertambah.
2.
Pemeriksaan faal paru
Pada
bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP
yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada
saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun
karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.
Analisis gas darah
Pada
bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang
kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia.
Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus
bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4.
Pemeriksaan EKG
Kelainan
yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III,
dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur
sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium
darah lengkap
H.
PENATALAKSANAAN
Tujuan
penatalaksanaan PPOK adalah:
1.
Memeperbaiki kemampuan penderita
mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2.
Memperbaiki kemampuan penderita dalam
melaksanakan aktivitas harian.
3.
Mengurangi laju progresivitas penyakit
apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan
PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1.
Meniadakan faktor etiologi/presipitasi,
misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
2.
Membersihkan sekresi bronkus dengan
pertolongan berbagai cara.
3.
Memberantas infeksi dengan antimikroba.
Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian
antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil
uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi
bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk
mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan
simtomatik
6. Penanganan
terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan
oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 -
2 liter/menit.
Tindakan
rehabilitasi yang meliputi:
1.
Fisioterapi, terutama bertujuan untuk
membantu pengeluaran secret bronkus.
2.
Latihan pernapasan, untuk melatih
penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
3.
Latihan dengan beban oalh raga tertentu,
dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
4.
Vocational guidance, yaitu usaha yang
dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
1.
Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok,
infeksi, dan polusi udara
2.
Terapi eksaserbasi akut di lakukan
dengan :
a. Antibiotik,
karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh
H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau
eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis
yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,
amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut
terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow
rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang
kuat.
b. Terapi
oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi
membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator,
untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik
b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin
0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
3.
Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik
untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator,
tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
c. Fisioterapi
4. Latihan
fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5. Mukolitik
dan ekspektoran
6. Terapi
oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
7. Rehabilitasi,
pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Antitusif
Diberikan
dengan hati - hati
Gejala
|
Golongan
Obat
|
Obat & Kemasan
|
Dosis
|
Tanpa gejala
|
|
Tanpa obat
|
|
Gejala intermiten
( pada waktu aktiviti )
|
Agonis ß2
|
Inhalasi kerja cepat
|
Bila perlu
|
Gejala terus menerus
|
Antikolinergik
|
Ipratropium bromida
20 µgr
|
2 - 4 semprot →
3 - 4 x/hari
|
|
Inhalasi Agonis
ß2
kerja cepat
|
Fenoterol
100µgr/semprot
|
2 - 4 semprot
→ 3 - 4
x/hari
|
|
|
salbutamol
100µgr/semprot
|
2 - 4 semprot
→ 3 - 4
x/hari
|
|
|
Terbutalin
0,5µgr/semprot
|
2 - 4 semprot
→ 3 - 4
x/hari
|
|
|
Prokaterol
10µgr/semprot
|
2 - 4 semprot
→ 3
x/hari
|
|
Kombinasi terapi
|
Ipratropium
bromid
|
2 - 4 semprot
|
8.
I. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi
Respiratory
Infeksi
pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal
jantung
Terutama
kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul
akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status
Asmatikus
Merupakan
komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
BAB
III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK
A. PENGKAJIAN
Pengkajian mencakup pengumpulan informasi tentang
gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini adalah
daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat
kesehatan yang jelas dari proses penyakit :
1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan
pernapasan ?
2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea? Jenis
aktivitas apa?
3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi
aktivitas?
4. Kapan selama siang hari pasien mengeluh paling
letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan
kondisinya?
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan
pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk mendapatkan data lebih
lanjut termasuk :
1. Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya?
3. Apakah pasien mengkonstriksi otot-otot abdomen
selama inspirasi?
4. Apakah pasien menggunakan otot-otot aksesori
pernapasan selama pernapasan?
5. Apakah tampak sianosis?
6. Apakah vena leher pasien tampak membesar?
7. Apakah pasien mengalami edema perifer?
8. Apakah pasien batuk?
9. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum
pasien?
10. Bagaimana status sensorium pasien?
11. Apakah terdapat peningkatan stupor?
Kegelisahan?
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa
keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1.
Bersihan jalan napas tidak efektif
berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak
efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2.
Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3.
Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
5.
Risiko perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
6.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan
ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan
keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
8.
Ansietas berhubungan dengan ancaman
terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak
terpenuhi.
9.
Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas
rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
Masalah
kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:
1.
Gagal/insufisiensi pernapasan
2.
Hipoksemia
3.
Atelektasis
4.
Pneumonia
5.
Pneumotoraks
6.
Hipertensi paru
7.
Gagal jantung kanan
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum,
batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
a. Tujuan:
Pencapaian bersihan jalan napas klien
b. Intervensi
keperawatan:
1) Beri
pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
2) Ajarkan
dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
3) Bantu
dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
4) Lakukan
drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari
sesuai yang diharuskan.
5) Instruksikan
pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim,
dan asap.
6) Ajarkan
tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan
segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
7) Berikan
antibiotik sesuai yang diharuskan.
8) Berikan
dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.
2.
Pola napas tidak
efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan
jalan napas.
a. Tujuan:
Perbaikan pola pernapasan klien
b. Intervensi:
1) Ajarkan
klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
2) Berikan
dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien
membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
3) Berikan
dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.
3.
Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
a. Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas
b. Intervensi
keperawatan:
1) Deteksi
bronkospasme saat auskultasi .
2) Pantau
klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3) Berikan
obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada
kemungkinan efek sampingnya.
4) Berikan
terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi
sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5) Pantau
pemberian oksigen.
4.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
a. Tujuan:
Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang
mungkin.
b. Intervensi
keperawatan:
1) Kaji
respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
2) Ukur
tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit
kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3) Dukung
pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan
exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan
perlahan.
4) Kaji
tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan
pada status fungsi dasar.
5) Sarankan
konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik
terhadap kemampuan pasien.
6) Sediakan
oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk
berjaga-jaga.
7) Tingkatkan
aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai
melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8) Tingkatkan
toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih
lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau
dengan banyak bantuan.
9) Secara
bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat
tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
5.
Risiko perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat,
produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
a. Tujuan:
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
b. Intervensi
keperawatan:
1) Kaji
kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi
bunyi usus
3) Berikan
perawatan oral sering, buang sekret.
4) Dorong
periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
5) Pesankan
diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6) Hindari
makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
7) Timbang
berat badan tiap hari sesuai indikasi.
6.
Gangguan pola tidur berhubungan
dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
a. Tujuan:
Kebutuhan tidur terpenuhi
b. Intervensi
keperawatan:
1) Bantu
klien latihan relaksasi ditempat tidur.
2) Lakukan
pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan
tindakan tersebut.
3) Atur
posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4) Lakukan
penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
5) Berikan
makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
7.
Kurang perawatan diri berhubungan
dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
a. Tujuan:
Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
b. Intervensi:
1) Ajarkan
mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan,
mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
2) Dorong
klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai
kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan
penghematan energi.
3) Ajarkan
tentang postural drainage bila memungkinkan.
8.
Ansietas berhubungan dengan ancaman
terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak
terpenuhi.
a. Tujuan:
Klien tidak terjadi kecemasan
b. Intervensi
keperawatan:
1) Bantu
klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
2) Jangan
tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
3) Jelaskan
kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.
9.
Koping individu tidak
efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat
aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
a. Tujuan:
Pencapaian tingkat koping yang optimal.
b. Intervensi
keperawatan:
1) Mengadopsi
sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.
2) Dorong
aktivitas sampai tingkat toleransi gejala
3) Ajarkan
teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
4) Daftarkan
pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
5) Tingkatkan
harga diri klien.
6) Rencanakan
terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk.
10.
Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
a. Tujuan:
Klien meningkat pengetahuannya.
b. Intervensi
keperawatan:
1) Bantu
pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien
tentang penyakit dan perawatannya.
2) Diskusikan
keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber
kelompok.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi,
setelah melakukan diskusi dan mencari
buku sumber literatur yang dapatdipercaya, bahwa Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 :
595).
Penyakit Paru
Obstruktif kronik merupakan penyakit yang menyerang sistem respirasi dengan
gangguan emfisema, asma, atau bisa ke duanya. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dan menyebabkan seseorang itu menderita penyakit paru obstruktif
kronik seperti usia, jenis kelamin, gen atau keturunan, gangguan sistem
pernafasan lain, merokok, dan lingkungan.
Peran kita
sebagai perawat tentunya sesuai dengan gejala dan diagnosa pada pasien, seperti
memberikan terapi oksigen pada tidak efektifnya jalan nafas, memberikan obat
penenang dan penghindar rasa nyeri serta kolaborasi dengan tenaga medis
lainnya.
B. Saran
Berusaha dan selalu bekerja
sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam menyelesaikan masalah dan
mengerjakan tugasserta melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab akan membuat
kita semakin menjadi dewasa dan mandiri
DAFTAR PUSTAKA
Danu
Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
Darmojo;
Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai penerbit
FKUI
Doenges,
Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi
3, Jakarta: EGC
Carpenito,
Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih,
edisi 6, Jakarta: EGC
G.Simon
: Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
Gofton,
Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page :
346-379.
Grainger,
Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second
edition, Churchil Livingstone, page :122.
Harrison
: Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.
Harrison
: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003,
hal :1347-1353.
Kapita
Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal :
480-482.
Long
Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan,
alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung,
Bandung.
Lothar,
Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.
Meschan
: Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page :
954,990-993.
Nugroho,
Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC
Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI
Price
Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih
bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.
Smeltzer,
Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar